Perilaku berkendaraan di mal

Judul diatas ada karena hari ini adalah hari sabtu, harinya buat keluarga..

dan sangat pas untuk meng-copy paste, tulisan dari blog ini.  saya sangat suka dengan tulisannya karena pas dengan realita yang ada. yang setelah dikutip dan diringkas masih pas… sebagai refleksi diri  🙂

Kalau bukan ke mal ke mana lagi?

Mal adalah sarana rekreasi keluarga sekalian cuci mata, tak hanya terhadap dagangan tapi juga gaya busana orang. Makin bagus mal kian keren orang dan busananya — pun perlengkapannya, sejak kereta bayi sampai tablet yang dimainkan anak-anak supaya tak merepotkan orangtuanya berbelanja.

Pada musim hujan mal adalah pilihan terbaik. Pengunjung tidak hanya takkan kepanasan tapi juga takkan kehujanan. Kalau mau, dengan bantuan aplikasi penghitung langkah dan jarak pada ponsel pun orang tetap dapat mengukur seberapa banyak dia melakukan gerak badan setelah memutari seluruh lantai.

Dalam mal, perbedaan pagi dan sore bahkan malam tidak penting. Hanya perut lapar dan pintu toko bertanda “tutup” yang mengingatkan perjalanan waktu. Mirip arena judi: orang dibuat lupa waktu.

Tak sedikit orang yang konsisten baik di jalan raya maupun di mal. Misalnya dalam hal gatal klakson. Begitu tersendat sedikit ada saja yang memencet klakson, baik selama berada di jalan masuk mal, di depan lobi, maupun dalam area parkir terbuka dan bahkan beratap (basement dan gedung parkir).

Mereka itu pastilah orang yang rasional dan tak mau rugi. Beli mobil selalu beserta klaksonnya (bukan sebaliknya). Sayang kalau tidak digunakan. Bahwa sebagian produsen mobil sudah mengurangi tingkat kebisingan klakson, bahkan mungkin para insinyurnya membayangkan klakson sebagai perlengkapan yang akan jarang dipakai, bagi orang Indonesia itu bisa dianggap kesalahan dalam rekayasa industrial. Pabrikan tak paham bahwa klakson itu penting bahkan utama dalam mengekspresikan perasaan — bahkan bisa eksistensial: aku mengklakson maka aku ada.

Begitulah, banyak pabrikan luar yang tak paham Indonesia. Mereka itu sotoy kelas berat. Misalnya menjadikan lampu sen sebagai perlengkapan standar mobil, sambil hakkul yakin bahwa pemakaiannya takkan mengganggu kelistrikan (kecuali kelistrikannya memang bermasalah) maupun memboroskan bensin.

Yang terjadi di jalan raya, orang Indonesia lebih tahu bahwa penyalaan lampu sen saat belok atau berpindah jalur itu mahal. Selain akan mempersingkat usia pakai bolam juga akan mengganggu kinerja mesin. Jadi, lebih baik tak usah dinyalakan. Sungguh konsumen berakal sehat.

Di mal, saat menepi ke depan lobi, atau saat memilih percabangan jalan di parkiran, tak semua mobil menyalakan lampu sen. Mobil seharga Rp 150 juta maupun lima kali lipatnya sama saja peluangnya untuk berhemat dengan lampu sen.

Bagaimana dengan kepatuhan terhadap jalur? Ada saja mobil yang begitu melihat kapling kosong akan segera belok melawan arus (tanpa arahan satpamwan). Tak usah memutar mengikuti panah karena bisa keduluan orang. Mereka paham sepaham-pahamnya, bahwa aturan yang tak menguntungkan tidak layak dipatuhi.

Bahkan di area parkir terbuka, lebih dari sekali (salah satu korbannya adalah saya) saya melihat ada mobil kecil lincah yang menyerobot antrean selagi mobil lain menunggu sebuah mobil keluar dari kaplingnya. Penyerobot gesit macam mereka layak jadi pemimpin partai dan korporat: yang penting hasil, bukan cara, bukan kepatutan. Yang penting parkir dulu baru berdebat, atau minimal cengengesan lalu minta maaf.

Bagaimana dengan parkir paralel sambil menutupi mobil orang, padahal mengaktifkan rem tangan atau tuas parkir? Kilah paling gampang, “Tadi nggak ada petugas yang ngasih tahu sih.”  Baiklah, sumber masalah ada pada petugas.

Kalau memarkir satu mobil di atas dua kapling, bahkan saat banyak mobil terpaksaa harus keluar sebelum memarkir? Saya menduga pengemudinya sudah memesan dua tiket sehingga berhak atas dua kapling. Hanya orang sirik dan naif saja yang menuduhnya tidak terampil memarkir.

Yang mengundang simpati kita misalnya juragan memanggil sopir selagi dalam mal, dengan harapan ketika dia keluar maka hanya perlu menunggu sebentar atau malah sopir sudah menunggu di depan lobi.

Jika sopir harus menunggu lama maka dia harus rajin berdiplomasi dengan satpamwan. Dalam hal ini, sopir dengan setelan bagus, dan mengendari mobil bagus, apalagi ada atribut kemiliteran, kepolisian, dan ke-DPR-an, akan lebih diuntungkan. The boss is always right. Ralat: the boss’ chauffeur is always right.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*